KOMENTAR UMUM KASTRAT PPIG
Nomor: 02/KS/KU/X/PPIG/2022
Isu Penggunaan Gas Air Mata Pada Tragedi Kanjuruhan
- Pada 1 Oktober 2022, terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan yang dipicu oleh masuknya suporter Arema Malang ke dalam lapangan. Untuk menjadikan situasi kondusif, Polisi menembakkan gas air mata ke lapangan serta tribun penonton. Kapolda Jawa Timur, Irjen. Pol. Dr. Nico Afinta, S.I.K., S.H., M.H. mengatakan bahwa penggunaan gas air mata tersebut telah sesuai prosedur untuk menghalau oknum suporter turun ke lapangan dan berbuat anarkis.
- Merujuk pada Pasal 5 ayat 1 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, terdapat 6 tahapan dalam penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yaitu:
- Tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan;
- Tahap 2: perintah lisan
- Tahap 3: kendali tangan kosong lunak
- Tahap 4: kendali tangan kosong keras
- Tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standara Polri;
- Tahap 6: kendali dengan menggunaan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Selain itu disebutkan juga dalam Pasal 5 ayat 2 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 bahwa dalam memilih tahapan penggunaan kekuatan, anggota Polri harus menyesuaikan tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan prinsip-prinsip pada Pasal 3 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009.
- Pada Pasal 3 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 terdapat enam prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif, masuk akal (reasonable).
- Dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 dijelaskan tata cara pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa dalam setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 dapat diikuti dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Pasal 7 ayat 2 Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 menjelaskan bahwa setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat dihadapi dengan penggunaan kekuatan sebagai berikut:
- tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c;
- tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c;
- tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e;
- tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f.
- Dengan merujuk pada pasal-pasal di atas, Divisi Kastrat PPI Groningen dapat memberikan pendapat bahwa penggunaan gas air mata merupakan satu tahapan sebelum tahap akhir yaitu penggunaan kekuatan dengan senjata api. Yang membedakan kedua hal tersebut adalah sifat ancaman, yang dimana apabila ancaman yang dihadapi merupakan ancaman tindakan agresif yang bersifat segera, maka penggunaan senjata api diperbolehkan. Selain itu, terdapat alternatif untuk menghadapi tindakan agresif selain menggunakan gas air mata yaitu semprotan cabe, kendali senjata tumpul, atau alat lain sesuai dengan standar Polri.
- Tentu sebelum memutuskan menggunakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, pihak Polri memiliki kewajiban untuk mengutamakan pendekatan preventif (mencegah adanya kejadian yang mengganggu ketertiban umum), proporsionalitas (antara tingkat ancaman dan penggunaan kekuatan seimbang) dan nesesitas (apakah penggunaan kekuatan diperlukan dan tidak ada alternatif lain dalam situasi yang dihadapi).
- Berdasarkan Resource Book on the Use of Force and Firearms in Law Enforcement dari Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) disebutkan bahwa penggunaan gas air mata untuk menghadapi situasi yang bersangkutan dengan ketertiban umum merupakan pilihan akhir dalam penggunaan kekuatan. Hal ini dikarenakan sulit untuk menargetkan orang-orang tertentu dan kemungkinan akan membahayakan orang-orang yang tidak terlibat. Special Rappoteur on the rights to freedom of peaceful assembly and of association mengatakan “gas tidak membedakan antara demosntrator dan non-demosntrator, orang sehat dan orang yang memiliki masalah kesehatan”.
- OHCHR Manual on Human Rights Training for Law Enforcement Official 2017 disebutkan bahwa untuk membatasi resiko terjadinya korban cidera, penegak hukum harus mempertimbangkan:
- Tidak menggunakan riot control agents (semprotan cabe dan gas air mata) dalam ruang terbatas atau menggunakan riot control agents beberapa kali dalam waktu singkat.
- Tidak menggunakan riot control agents pada orang-orang yang tertahan atau dalam ruang terbatas dimana tidak tersedianya jalur keluar.
- Tidak menembakkan riot control agents secara langsung kepada orang. Karena dapat menimbulkan cedera serius atau kematian akibat dari hantaman wadah riot control agents.
- Selalu melakukan investigasi yang efektif dan akuntabel terhadap tindakan yang menggunakan riot control agents secara sewenang-wenang dan menganalisis kekurangan prosedur standar operasi, perintah, atau pelatihan.
- Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulation mengatur bahwa untuk melindungi pemain dan officials serta menegakkan ketertiban umum diperbolehkan untuk pihak kepolisian untuk berjaga di sekitar lapangan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (b) tidak membawa atau menggunakan senjata api atau gas air mata, (e) Jika ada risiko tinggi invasi lapangan atau gangguan kerumunan, pertimbangan harus diberikan untuk mengizinkan petugas polisi untuk menempati barisan depan kursi di stadion jika dianggap perlu untuk meningkatkan kehadiran dan kemampuan secara keseluruhan. Jika pendekatan ini dilakukan, perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa kursi yang diduduki oleh petugas polisi tidak dijual kepada publik.
Perlu digarisbawahi bahwa aturan-aturan yang dikeluarkan oleh OHCHR dan FIFA tidak mengikat secara hukum pada Polri karena aturan-aturan tersebut masuk ke dalam kategori soft law (tidak mengikat secara hukum). Sehingga Polri tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk mematuhi aturan-aturan tersebut. Namun, aturan-aturan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang oleh badan-badan internasional yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam bidangnya masing-masing.