Pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) [1] telah menjadi obrolan panas di berbagai kalangan dari masa ke masa. Seiring berjalannya waktu, kondisi bumi ini semakin memburuk yang dapat dilihat dari munculnya perubahan iklim, penimbunan lempeng, hingga terkurasnya sumber daya alam secara drastis. Bukti bahwa hal-hal ini memang nyata dan masih sangat relevan hingga saat ini dapat dilihat dengan adanya rencana pemindahan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur, yang dimana alasan padatnya populasi dan menurunnya kualitas lingkungan di Pulau Jawa khususnya Jakarta menjadi salah satu faktor utama keputusan tersebut.
Parahnya, masalah seperti ini dapat (berpotensi) menyebabkan rentetan musibah lainnya, seperti halnya perubahan iklim di Afrika yang menjadi penyebab berbagai wabah penyakit dan pada akhirnya mempengaruhi ekonomi negara-negara disana.
Maka dari itu, pada tahun 2015, Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk menciptakan standarisasi atas kehidupan dan aktivitas masing-masing negara demi kesejahteraan di masa yang akan datang. Tolak ukur ini dikenal sebagai “Sustainable Development Goals” yang mencakup berbagai spektrum kehidupan mulai dari aspek manusia seperti kesehatan dan pendidikan, alam seperti iklim dan lautan, hingga pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Alhasil, mayoritas negara dan perusahaan pun turut memberi janji manis untuk memenuhi tolak ukur tersebut dalam jangka waktu tertentu. Indonesia sendiri ikut berkomitmen dalam proyek ini, dengan menyatakan bahwa Indonesia siap memenuhi poin-poin tersebut pada tahun 2030. Namun, apa aksi yang dilakukan Indonesia untuk menunjukkan komitmennya?
Komitmen Indonesia akan dibuktikan tahun ini, dimana Indonesia secara resmi akan memegang Presidensi Group of Twenty (G20) [2] selama setahun penuh, dimulai dari 1 Desember 2021 hingga KTT G20 pada November 2022. Serah terima presidensi dari Italia (selaku Presidensi G20 2021) kepada Indonesia sudah dilakukan secara langsung pada 31 Oktober 2021 di Roma, Italia.
Dalam pidato Presiden Joko Widodo pada serah terima tersebut, beliau menyampaikan bahwa ini merupakan kesempatan Indonesia untuk berkontribusi lebih besar pada pemulihan ekonomi dunia, membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan berkelanjutan berdasarkan asas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Presidensi G20 Indonesia akan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”. Melalui tema ini, Indonesia mengajak seluruh dunia untuk bersama-sama mencapai pemulihan yang lebih kuat dan berkelanjutan. Karena keberhasilan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi di suatu negara tidak akan dapat bertahan lama apabila tidak diikuti negara lain. Demi terlaksananya visi-visi ini, Indonesia bersama dengan G-20 akan berpacu ke tiga pilar utama yaitu sistem kesehatan dunia, transformasi ekonomi dan digital dan transisi energi, Pilar pertama yaitu sistem kesehatan dunia merupakan upaya Indonesia dalam memperkuat dan menyusun kembali struktur dan pengelolaan kesehatan global pasca pandemi, salah satunya dengan mendorong Indonesia menjadi transfer–hub [3] untuk pengembangan dan produksi vaksin. Menteri Koordinator Ekonomi Indonesia, Airlangga Hartarto juga menambahkan bahwa terciptanya vaksin domestikakan memperkuat aspek kesehatan melalui penanganan dan pencegahan gelombang baru dan juga meningkatkan ekonomi Indonesia melalui penghematan devisa negara.
Kedua, transformasi ekonomi dan digital, yaitu upaya Indonesia dalam rangka mengeksplorasi potensi ekonomi dan pemerataan sosial melalui teknologi digital, serta mendorong digitalisasi sektor-sektor strategis. Contohnya, dilansir dari laman resmi Kementerian Koordinator Ekonomi Indonesia, pemerintah Indonesia sudah mempunyai roadmap infrastruktur digitalisasi. Dalam hal ini, Indonesia berencana untuk memanfaatkan sistem komunikasi satelit orbit rendah untuk menjangkau layanan komunikasi hingga wilayah terpencil. Teknologi ini akan mengatasi kesenjangan digital. Di sisi lain, inklusi keuangan melalui fintech [4] dan digitalisasi, terutama membuat regulatory sandbox [5] untuk melindungi transaksi keuangan masyarakat. Proses digitalisasi juga dapat menciptakan fenomena spill-over dimana kemajuan-kemajuan teknologi tersebut dapat memicu inovasi dan aktivitas ekonomi Indonesia.
Pilar ketiga adalah transisi energi. Kehidupan Indonesia masih relatif bergantung pada beberapa sumber daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui, contohnya bisa dilihat dari laporan yang diberikan Guardian, dimana(pada tahun 2015 sampai 2019,) Indonesia merupakan negara ketiga terbesar yang mengalami peningkatan dalam subsidi bahan bakar fosil. Maka dari itu, dibutuhkan transisi penggunaan sumber energi ke sumber daya yang lebih ramah lingkungan, seperti yang disampaikan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, dan Persidangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanset. Akan tetapi, perlu juga diketahui, meskipun Indonesia sudah berhasil melakukan transisi energi, hal tersebut masih belum menjamin distribusi energi yang lebih merata. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, sekarang saja masih banyak masyarakat di Indonesia yang masih belum mendapatkan fasilitas listrik, air bersih, ataupun pendidikan yang memadai.
Selain pilar-pilar ini, dari perspektif Indonesia sendiri, terdapat berbagai manfaat besar bagi Indonesia dengan menjadi Presidensi G20. Beberapa manfaat langsung yang diproyeksikan dapat tercapai dengan menjadi Presidensi G20 (terutama jika pertemuan dilaksanakan secara fisik), berdasarkan Menteri Koordinator Ekonomi, Airlangga Hartarto, antara lain adalah peningkatkan konsumsi domestik hingga Rp1,7 triliun, penambahan produk domestik bruto (PDB) nasional hingga Rp7,4 triliun, dan pelibatan Usaha Kecil dan Mikro Menengah (UMKM) dan penyerapan tenaga kerja sekitar 33 ribu di berbagai sektor (multiplier effect) [6] .
Akan tetapi, terlepas dari banyaknya sustainability benefits dari terpilihnya Indonesia menjadi presidensi G-20, apakah masyarakat Indonesia sudah siap menghadapi perubahan? Berdasarkan dimensi budaya Hofstede, dalam kategori uncertainty avoidance, yakni bagaimana masyarakat merespon terhadap perubahan, Indonesia masih tergolong cukup kaku terhadap perubahan. Dalam sisi lainnya, banyak masyarakat Indonesia yang masih short-term oriented [7]. Implementasi kedua kategori ini bisa dilihat dalam bagaimana masyarakat Indonesia merespon terhadap peraturan-peraturan baru, contohnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang isinya telah menjadi parameter di negara-negara lain, sedangkan masih menuai kontroversi di negara Indonesia ini.
Selain dari masyarakatnya, apakah pemerintah Indonesia sudah memiliki kapasitas yang tepat untuk memenuhi komitmennya terhadap sustainability? Masih ada banyak sekali peraturan-peraturan danide-ide pemerintah Indonesia yang masih belum terlaksana sampai sekarang, salah satu contohnya, kembali lagi ke RUU TPKS yang sampai saat ini belum diimplementasikan secara resmi. Tak hanya itu, demi merealisasikan proyek-proyek ini secara optimal, pemerintah Indonesia juga perlu mempertimbangkan populasi Indonesia yang menjadi masalah lainnya, dimana tingkat kesejahteraan masyarakat masih tidak setara. Sebab, populasi Indonesia yang kurang proporsional terhadap produktivitas ekonomi lah yang sebenarnya merupakan alasan mengapa Indonesia masih tergolong negara berkembang, meski berada di peringkat ke 16 negara dengan PDB terbesar, melebihi negara-negara maju seperti Belanda, Swiss, dan Swedia, menurut data dari Bank Dunia per 22 Desember 2021. Terpilihnya Indonesia menjadi Presidensi G20 diharapkan dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk segera berbenah dalam upaya mewujudkan kebijakan yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi global.
Definisi:
[1] Pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
[2] Sebuah forum multilateral antar 19 negara dan Uni Eropa yang berfokus pada isu keuangan dan non-keuangan.
[3] Tempat terjadinya aktivitas tukar-menukar.
[4] Sebuah inovasi pada industry jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi.
[5] Suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji penyelenggaraan fintech beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya.
[6] Pengaruh yang meluas, yang ditimbulkan oleh satu kegiatan, dan selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan lainnya.
[5] Memiliki pola pikir dalam jangka pendek