Berdasarkan data dari Komnas Perempuan di tahun 2020, ada 11.105 kasus kekerasan terhadap perempuan, 25% diantaranya dilakukan oleh orang terdekat yang memiliki relasi dengan korban
Pada tahun 2015, pemerintah berinisiatif untuk membentuk dan mengesahkan sebuah Rancangan Undang-Undang untuk penghapusan kekerasan seksual yang dikenal dengan RUU PKS, dimana sekarang direvisi menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) demi melindungi korban-korban dari predator kekerasan seksual yang bisa terjadi di mana saja. Rancangan undang-undang ini tentu saja menjadi sebuah langkah baru dari payung hukum di Indonesia, pasalnya selama ini, Undang-Undang yang mengatur mengenai kekerasan seksual berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Begitu pula dengan ketentuan-ketentuan kekerasan seksual dalam KUHP yang sangat limitatif dan hal ini terlihat pada Bab XIV Pasal 281 sampai Pasal 303 mengenai Kejahatan Kesusilaan. Namun sayangnya, pasal tersebut belum cukup kuat untuk mencakup seluruh arti dari kekerasan seksual. Maka dari itu sangat dibutuhkan revisi definisi yang lebih tepat dari pemerintah.
RUU TPKS ini juga sedang marak menjadi perbincangan oleh masyarakat karena di dalam draf, seringkali kata “persetujuan” muncul tanpa penjelasan lebih lanjut. Kata tersebut biasanya diikuti oleh ,“hasrat seksual”, “sistem reproduksi”, “fungsi reproduksi”, “organ reproduksi”, “menyiksa”, dan “penyalahgunaan kekuasaan”. Dapat digaris bawahi juga kata “secara paksa” yang menimbulkan pertanyaan baru. Apakah setiap kekerasan seksual harus diikatkan secara paksa sebagai indikator? Pertanyaan ini tentunya menjurumus ke dalam pertanyaan yang baru, mengenai “persetujuan” atau consent antara kedua individu yang berhubungan intim. Secara realistis khususnya di Indonesia perilaku ini akan sangat sulit untuk dinormalisasi. Lantas, jawaban apa yang paling layak jika kita bertanya sampai sejauh mana consent ini dapat diberikan? Dengan garis perbedaan yang sangat tipis, seringkali hal ini membuat korban mengalami pelecehan seksual dengan orang terdekat dikarenakan tidak ada persetujuan antara kedua belah pihak, terutama korban tersebut.
Pengaruh pendidikan seharusnya bisa menjadi salah satu faktor yang memotong rantai kekerasan seksual di Indonesia. Riset yang dilakukan oleh Durex Indonesia tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan 84% remaja berusia 12-17 tahun belum mendapatkan edukasi seks. Hal ini terjadi karena sering kali edukasi tentang Kesehatan seksual masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Yang pada akhirnya pembahasan ini akan dikaitkan dengan hal-hal berbau pornografi dan membuat enggan para orang tua untuk membahas lebih jauh. Oleh karena itu, banyak sekali remaja yang masih belum mendapatkan pendidikan seksual dari sumber yang kredibel. Tanpa adanya pengenalan terhadap materi terkait, hal ini dapat menimbulkan resiko perilaku menyimpang karena pengetahuan yang sangat minim.
RUU TPKS sejatinya merupakan payung hukum untuk mencegah bertambahnya korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun, dengan terbitnya RUU terbaru mengenai tindak pidana kekerasan seksual, hal ini juga membawa beberapa kontroversi untuk kelompok kanan. Mereka mengutarakan isu bahwa RUU TPKS terlalu liberal, terkesan melegalkan beberapa kelompok yang tak sesuai dengan norma agama. Hal tersebut dapat disinggung dari ujaran Hidayat Nur Wahid selaku wakil ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahwa, “Dalam konteks negara ditegaskan bahwa dalam UUD Pasal 29, negara itu berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa atau kepada nilai agama”. Dengan itu, dapat dilihat bahwa terdapat berbagai macam perbedaan sikap terhadap apa itu seksualitas seria pandangannya, sehingga pengesahan ini akan terus ditunda.
Apakah pendapat kamu terkait hal ini?
Apakah RUU TPKS harus cepat disahkan?
Silahkan utarakan suaramu melalui typeform – bit.ly/LogBoek1
Penulis : Matthew Wimmer Editor : Muhammad Al - Azhar & Puan Maharani 4 Desember 2021
Daftar Pustaka
- Kusuma, Agnes, dkk. (2019). “Analisis Keberlakuan RKUHP dan RUU-PKS dalam Mengatur Tindak Kekerasan Seksual”. Lex Scientia Law Review. Volume 2 No. 2, November, hlm. 55-68
- Heldifanny, R. A., & Rachmawati, K. D. (2016, April 27). Pendidikan Seks di Indonesia: Tabu atau Bermanfaat? Diakses November 21, 2021. Economica.id.
- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). (2021).Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber,Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19. Jakarta.
- Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf
- Kemala Movanita, A. N. (2019, September 23). Kekeliruan Memahami Ruu PKS,Dianggap liberal Dan Tak Sesuai Agama Halaman all. KOMPAS.com.
- Sandi, E. D. (2020, September 28). Psikolog: Ini Alasan Banyak remaja jadi Pelaku Kekerasan seksual Anak Halaman all. KOMPAS.com.