KOMENTAR UMUM KASTRAT PPIG #2
Nomor: 04/KS/KU/XI/PPIG/2022
Pencopotan Hakim MK oleh DPR Dengan Dasar Pertimbangan Politik
- Aswanto merupakan seorang hakim Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh DPR. Pada 29 September 2022, DPR secara tiba-tiba mengesahkan Sekjen Mahkamah Konstitusi, Guntur Hamzah, untuk menggantikan Aswanto sebagai hakim Mahkamah konstitusi. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menerangkan bahwa penggantian hakim Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan suatu keputusan politik. Hal ini dikarenakan Bambang Wuryanto menganggap seorang hakim Mahkamah Konstitusi adalah wakil DPR dan diharapkan tidak menganulir produk-produk undang-undang dari DPR. Presiden akhirnya mengeluarkan Keppres No. 114/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang diajukan DPR serta melantik Guntur hamzah sebagai Hakim Konstitusi pada tanggal 23 November 2022.
- Dalam UU no.12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:
- Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) menempati posisi hirarki tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Artinya, isi dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang menempati posisi di bawah UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan apabila bertentangan maka peraturan perundang-undangan tersebut tidak berlaku atau perlu diperbaiki.
- Institusi yang berhak untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif ataupun eksekutif adalah Mahkamah Konstitusi (MK) (Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU No.24 Tahun 2003). Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman (Pasal 1 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003), MK memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945). Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 2 UU 24/2003 dimana MK dinyatakan sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
- MK berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 memiliki berbagai kewenangan untuk mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik; dan
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Komentar Umum ini akan lebih spesifik membahas kewenangan MK yang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU 24/2003 yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Hal ini merupakan bagian dari mekanisme check and balance antara badan legislatif sebagai pembuat UU dan yudikatif sebagai pengawas agar pembentukan UU tersebut tidak mencederai UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Kedudukan DPR dan MK dalam konteks ini adalah setara tanpa satu badan berada di atas yang lain dalam perspektif hukum.
- Dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU 7/2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjabarkan berbagai alasan bagaimana hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak hormat.
a. Hakim Konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan (Pasal 23 ayat (1) UU 7/2020):
- Meninggal dunia;
- mengundurkan diri atas yang diajukan kepada Konstitusi;
- telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;
- dihapus; atau
- sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
b. Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara;
- melakukan perbuatan tercela;
- tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
- melanggar sumpah atau janji jabatan;
- dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
- tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau
- melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
- Dari berbagai alasan tersebut tidak ada satu kalimat pun yang mengatakan bahwa seorang hakim konstitusi yang diangkat oleh DPR harus “memperjuangkan” UU yang dibuat oleh DPR sebagai “perwakilan” DPR di MK. Tidak ada satu pun kata di peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatakan bahwa hakim MK yang diusulkan oleh DPR memiliki hubungan subordinasi antara hakim MK tersebut dengan DPR. Pemberhentian dari jabatan hakim MK sebagai bagian dari political decision badan legislatif tentu sangat bertentangan dengan semangat para pendiri bangsa terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka yang ditumpahkan dalam Pasal 24 UUD 1945.
- Jika, demi sebuah argumen, terdapat aturan atau mekanisme yang memperbolehkan hakim MK diberhentikan atas dasar keputusan politik oleh badan legislatif maka hal tersebut jelas bertentangan dengan tujuan didirikannya MK. MK didirikan sebagai penjaga negara agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya tidak melenceng dari apa yang telah dicantumkan para pendiri negara di konstitusi. Apabila konstitusi tidak dijaga, maka Indonesia akan menjadi kehilangan identitas dan tujuan negara yang ingin dicapai sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.