Program bulanan PPI Groningen, yaitu Indonesia Science Café (ISC), telah dilaksanakan pada hari Kamis, 22 Mei 2014, dengan menampilkan dua pembicara dari Faculty of Behavioral and Social Sciences, University of Groningen. Bertempat di Harmonie Complex University of Groningen, kedua pembicara membawakan materi yang merupakan sebagian dari hasil penelitian doktoralnya, dengan moderator Jesco Siahaan.
Suwatin Miharti, sebagai pembicara pertama, membahas topik berjudul “The contribution of decentralization to health outcomes in Indonesia: new opportunities for primary health centers”. Berlakunya sistem desentralisasi di Indonesia di awal tahun 2000 memberikan kesempatan kepada pemerintah lokal hingga unit pelaksana –termasuk Puskesmas, untuk mengembangkan program. Pembicara yang berafiliasi di Lembaga Administrasi Negara (LAN) ini menggunakan analisis qualitative-explanatory untuk menjelaskan pengaruh desentralisasi terhadap variasi performa kesehatan –dilihat dari Decision Making Space (DMS), pada level pemerintah daerah dan Puskesmas. Performa kesehatan dalam kajian ini diindikasikan dengan angka kematian bayi (Infant Mortality), kematian balita (Under Five Mortality), dan kematian ibu melahirkan (Maternal Mortality), dengan sumber data dari Kementerian Kesehatan RI. Dengan melakukan analisis tehadap kebijakan desentralisasi, kesehatan, dan hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara dejure DMS telah diimplementasikan di level pemerintah daerah dan institusi kesehatan termasuk Puskesmas. Namun secara de facto tidak semua daerah atau institusi kesehatan menggunakan DMS secara inovatif guna meningkatkan performa kesehatan. Berbagai inovasi telah dilakukan sejak desentralisasi diberlakukan, mulai dari kebijakan yang bersifat temporer yakni pembentukan tim untuk menyelesaikan masalah tertentu, hingga inovasi struktural berupa pemberian jaminan kesehatan universal kepada penduduk. Bentuk inovasi lainpun telah dipraktekkan sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah. Salah satu hal penting yang membedakan penerapan DMS di sektor kesehatan di daerah adalah perbedaan inisiatif personal, seperti pimpinan daerah (bupati, walikota), pimpinan dinas kesehatan, dan kepala Puskesmas. Riset ini menyimpulkan desentralisasi memberikan peluang untuk peningkatan kesehatan dan merekomendasikan agar upaya kesehatan inovatif didukung sistem akuntabilitas dan kapasitas organisasi yang mumpuni agar berkontribusi maksimal pada peningkatan performa kesehatan.
Pembicara kedua, Ciptasari Prabawanti, yang merupakan penggiat dari organisasi Family Health International (FHI360) – Indonesia, membawakan materi yang berjudul “Discover the characteristic, sexual behaviour, and sexuality clients of Waria in Jakarta, 2011”. Para waria (transgender) sebagian besar ditenggarai menjajakan seks dengan klien pria, dan penelitian ini merupakan studi eksploratif tentang karakteristik klien dari para waria tersebut. Pembicara mengemukakan bahwa penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang sebelumnya telah dilakukan dimana para waria sebagai responden, sementara pada penelitian ini para klien waria yang menjadi responden. Penelitian ini melibatkan waria sebagai interviewer para responden dan para “mama” –sebutan untuk waria senior di setiap wilayah, sebagai narasumber. Berdasarkan riset ini, secara garis besar karakter klien waria di Jakarta adalah pria yang sudah menikah (94,8%) dikisaran usia 27 tahun, dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, merupakan pekerja migran, dan tinggal jauh dari pasangan tetapnya. Hal penting yang perlu dicermati yaitu hanya 54% klien waria yang menggunakan kondom ketika melakukan kegiatan seksual dengan waria. Persentase ini sangat rendah, mengingat tingginya kerentanan waria terhadap HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan STI (Sexually Transmitted Infections; seperti gonorea, sifilis dan klamidia). Untuk mencegah menularnya HIV dan STI, pemakaian kondom dikalangan klien waria ini setidaknya harus 80%. Para waria sebagian besar memilki kesadaran untuk melakukan tes HIV dan STI secara periodik di Puskesmas terdekat, namun tidak demikian halnya dengan klien waria. Jika fenomena ini tidak ditindaklanjuti, dikhawatirkan prevalensi HIV dan STI di Indonesia akan meningkat karena disebarkan oleh para klien waria; padahal saat ini jumlah penderita HIV dan STI di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia.
Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh forum kepada para pembicara pada sesi diskusi, diantaranya mengenai teknik pengambilan data statistik dan data di lapangan serta pertimbangan pemilihan lokasi riset. Suwatin Miharti menjelaskan bahwa ke-35 kota/kabupaten yang menjadi sampel merupakan representasi dari kondisi kota/kabupaten di Indonesia yang beragam, baik dari wilayah barat, tengah, maupun timur Indonesia. Sementarai itu Ciptasari Prabawanti mengemukakan bahwa keberadaan waria lebih banyak ditemukan dan lebih mudah diidentifikasi di kota-kota besar, seperti misalnya di Jakarta. Pada bagian penutup ISC, ketua PPI Groningen –Rully Tri Cahyono, menyerahkan sertifikat dan tanda mata kepada kedua pembicara ISC Mei 2014. (Vera D Damayanti)