Saya memiliki tiga orang saudara kandung. Kakak saya yang pertama (kelahiran 1970) lulusan Teknik Elektro, UB. Kakak kedua (kelahiran 1976) lulusan Teknik Sipil, ITS. Adik (kelahiran 1995) sedang kuliah di Akuntansi, UB. Saya sendiri (kelahiran 1986) lulusan Teknik Industri, ITB.
Kadang saya tidak habis pikir bagaimana bisa kami semua mengenyam pendidikan sarjana di perguruan tinggi negeri. Bagaimana tidak, saudara-saudara kami dari Bapak tidak ada sama sekali yang kuliah. Saudara-saudara dari Ibu ada yang kuliah, tetapi tidak banyak, dan semuanya di perguruan tinggi swasta. Orangtua kami jangan ditanya. Bapak (kelahiran 1942) hanya tamatan SD, sedangkan Ibu (kelahiran 1954) malah hanya sempat bersekolah sampai kelas tiga SD.
Kami memang tidak berasal dari kota. Kami lahir dan besar di sebuah desa bernama Semboro, tiga puluh kilometer sebelah Barat pusat kota Jember. Sebuah daerah hampir di ujung timur Pulau Jawa. Daerah tersebut tidak terlalu terbelakang, tetapi juga tidak maju. Ekonomi desa ditopang oleh pertanian dan sebuah pabrik gula warisan Belanda. Jangan bayangkan kami bersaudara bisa mengenyam pendidikan tinggi karena kami anak orang kaya. Bapak hanya menerima warisan dari kakek berupa tanah yang sekarang menjadi rumah kami. Sedangkan Ibu adalah perantauan dari Nganjuk yang tidak mempunyai apa-apa.
Semasa mudanya, Bapak bekerja sebagai tukang kayu dan tukang batu di Semboro. Suatu saat Bapak bertemu dengan guru SD Mas Hari (kakak pertama) dan guru itu berujar, “anakmu pinter, sekolahno sing duwur (anakmu pintar, sekolahkan dia sampai ke pendidikan tinggi)”. Waktu itu Bapak hanya menanggapi sambil lalu. Beliau berpikir, bagaimana mungkin bisa menyekolahkan anak sampai tinggi dengan pendapatan tukang yang pas-pasan (dengan nominal sekarang, seorang tukang di Semboro mungkin dibayar Rp 50.000-60.000/hari). Dorongan dari lingkungan dari saudara juga tidak memungkinkan. Kebanyakan warga Semboro juga berpendidikan rendah dan berprofesi sebagai petani atau tukang bangunan. Bapak pernah bercerita bahwa dulu beliau hanya menginginkan Mas Hari kelak menjadi supir truk atau semacamnya.
Cerita pun berlalu dan beberapa saat setelah Mbak Eni (kakak kedua) lahir, Bapak memutuskan untuk merantau ke Surabaya, keluarga ditinggal di Semboro. Bapak di Surabaya juga bekerja di bidang bangunan, namun sudah naik kelas jadi mandor. Di Surabaya, beliau mendapati fenomena bahwa atasan-atasannya rata-rata lebih muda dari beliau. Bapak pun heran dan bertanya ke teman-temannya, “lha kuwi kok iso arek-arek cilik wis dadi bos? (itu kok bisa anak-anak muda sudah jadi bos?)”. Teman-temannya pun menjawab, “lha wong sekolahe duwur (orang mereka berpendidikan tinggi)”. Bapak bertanya bagaimana supaya bisa dapat pendidikan tinggi. Teman-temannya menjawab, caranya dengan kuliah.
Sejak kejadian itu Bapak memikirkan hal itu. Suatu saat beliau berpikir, “lha lek anakku ora sekolah duwur, putuku sokmben lak dadi tukang becak (kalau anakku tidak sekolah tinggi, nanti cucuku bisa jadi bakal jadi tukang becak)”. Mulai saat itu Bapak punya cita-cita bahwa anaknya harus kuliah, bagaimanapun caranya. Ibu saya jelas lebih abstrak lagi soal ide kuliah ini.
Namun, keinginan itu tidak gampang dilaksanakan. Pertama, dari lingkungan keluarga besar tidak ada contoh yang pernah kuliah. Ide untuk mengkuliahkan anak juga dirasa aneh waktu itu di Semboro. Suatu saat ada yang bilang ke orang tua kami, “kowe laopo larang-larang nguliahne anak, luwih penak digawe nyewo sawah, asile akeh (kamu buat apa mahal-mahal mengkuliahkan anak, lebih enak dibuat menyewa sawah, hasil (uang)nya banyak”. Namun orang tua kami tetap tegar dengan omongan orang-orang.
Kedua, meskipun sebagai mandor taraf kehidupan Bapak sudah membaik, mengkuliahkan Mas Hari di Kota Malang tetaplah sangat berat. Menjadi mandor bukanlah pegawai tetap. Pendapatan hanya ada ketika ada proyek. Dalam hal ini, Ibu berperan sangat penting. Beliau bisa sangat pengertian bahwa sekarang anaknya sedang berjuang, dan Ibu harus menahan diri untuk tidak mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Keuangan di rumah menjadi sangat ketat. Prioritas utama adalah kuliah Mas Hari. Saya ingat suatu saat ketika kecil (mungkin sekitar 1990-1991) saya menangis karena tidak dibelikan jajanan seharga Rp 50. Tetapi bagaimana lagi, waktu itu Ibu benar-benar tidak mempunyai uang sepeser pun. Setelah sekarang dewasa, saya bisa membayangkan bagaimana nelangsanya perasaan Ibu sebagai orang tua kala itu.
Dalam hal pendidikan anak di rumah, peran Ibu pun signifikan. Ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Bapak berpesan ke Ibu, “kowe kudu telaten ngrumat anak-anakmu (kamu harus tekun mendidik anak-anakmu)”. Ibu melaksanan pesan itu dengan sangat baik. Anak-anaknya dididik untuk selalu jujur, bekerja keras, tidak neko-neko dan selalu semangat dalam mengejar cita-cita.
Masa-masa itu amatlah sulit. Waktu sudah berhasil Mas Hari bertanya ke Ibu, “njenengan nopo tasih utang beras? (Ibu apa masih pernah hutang beras?)”. Ternyata dulu saking tidak adanya uang di rumah, beberapa kali Ibu pernah berhutang beras. Tentunya demi menjamin bahwa anak-anaknya di rumah bisa makan.
Akhirnya Mas Hari pun berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan baik di tahun 1994 (dengan IPK 3,8). Setelahnya dia dapat pekerjaan yang bagus dan mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan magister dengan beasiswa dari kantornya. Lulusnya Mas Hari mendorong adik-adiknya untuk meraih cita-cita yang sama. Mas Hari juga berperan sangat besar terhadap dukungan moral dan finansial untuk pendidikan adik-adiknya.
Alhamdulillah kami semua sekarang berhasil memenuhi mimpi orang tua kami. Taraf kehidupan keluarga meningkat. Kami pun bisa merasakan banyak hal yang mungkin orang tua kami dulu bahkan tidak terbayang. Cucu-cucu Bapak juga insha Allah tidak akan menjadi tukang becak sesuai apa yang beliau khawatirkan dulu. Semua itu berkat satu hal yang disebut pendidikan. Kami sangat bersyukur dilahirkan dari kedua orang tua yang visioner, bekerja keras dan selalu mendukung anak-anaknya. Bapak sekarang sudah 72 tahun dan Ibu 60 tahun. Kami berharap beliau berdua berumur panjang sehingga kami masih selalu sempat untuk membahagiakan mereka. Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiroo (Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasih sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihsayangi aku ketika kecil).
Ditulis oleh Rully Tri Cahyono
Groningen, 7 Februari 2014 jam 10.26 CET
Tulisan ini juga dapat dibaca di http://rullymesgapati.wordpress.com/
Sangat inspiratif, ada beberapa persamaan dengan perjalanan hidup saya, antara lain:
Dari daerah terpencil (saya dari Banggai Laut Sulawesi Tengah) dan orang tua kita benar-benar berkomitmen dengan kerja keras mereka demi pendidikan. Luar biasa. sukes.
cerita perjuangan yang luar biasa mas