Benarkah kesuksesan seseorang ditentukan oleh nilai akademisnya?
Benarkah kepandaian seorang siswa dapat diukur dari nilai matematikanya?
Apakah kata ‘pandai’ dan ‘bodoh’ benar-benar eksis di dunia pendidikan?
Apakah memarahi dan menghukum anak yang dicap ‘tidak pandai’ di sekolah dapat dibenarkan?
Apa bedanya bersekolah di Singapura dan di Indonesia?
? ? ?
Pengurus PPI Groningen 2006/2007 telah mengadakan acara ‘Movie Review and Social Gathering’ bersama rekan-rekan pelajar Indonesia di Groningen untuk turut berperan serta menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Acara ini diselenggarakan pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 10 Maret 2007
Jam : 11.00 – selesai
Tempat : Kediaman Keluarga Manurung, Kleine Sophiastraat No. 9 Groningen
Kegiatan : – Pemutaran Film Singapura ‘I not Stupid’ yang bertema pendidikan
– Diskusi mengenai isu-isu seputar dunia pendidikan dengan nara sumber : Ike Anggraika Kuntoro (Ph.D in Education candidate) dan Angie Theonis (Mahasiswi Hanze Hogeschool Groningen yang pernah bersekolah di Singapura)
– Social Gathering/ Penyambutan para anggota baru PPI Groningen, termasuk makan siang bersama yang disiapkan oleh koki-koki handal di bawah pimpinan Cut Dewi
Moderator : Joko Tirto Raharjo (Ketua PPI Groningen 2006/2007)
Judul Film : I Not Stupid
Sutradara : Jack Neo
Tahun Produksi : 2002
“I Not Stupid” adalah sebuah film fenomenal produksi Singapura tahun 2002, yang selain sangat sukses secara komersial, juga berhasil mencatatkan diri sebagai film terbaik pada beberapa Festival Film Internasional.
Film ini bercerita tentang kehidupan 3 remaja Singapura yang berada pada level EM3, yaitu level “kasta” pendidikan terendah pada sistem pendidikan di Singapura. Sistem sosial yang terbentuk di Singapura, celakanya, sangat memandang rendah siswa-siswa yang berada di level EM3. “I Not Stupid” lantas bercerita tentang bagaimana 3 siswa EM3 ini berjuang mengatasi tekanan sosial tersebut dalam usaha mereka untuk merealisasikan potensi masing-masing yang berbeda dengan definisi potensi yang diakui oleh sistem.
Film ini disajikan dengan sangat menghibur, penuh gelak tawa, namun juga mengharukan serta menyentuh hati. Film ini juga menghadirkan satire dan kritikan terhadap pemerintah Singapura, sistem politik serta sosial yang ada di negara tersebut, yang disajikan secara bernas dan bermutu.
Film ini fenomenal karena berhasil menyulut diskursus publik di Singapura tentang sistem pendidikan yang ada. Setelah melalui debat parlemen, Kementrian Pendidikan Singapura akhirnya memutuskan untuk mengabungkan level EM2 dan EM1 pada tahun 2004, dan merencanakan untuk menghapus sistem EM3 pada tahun 2008.
Pada tahun 2005, sutradara film ini menjadi aktivis pop culture lokal Singapura pertama yang menerima Cultural Medallion, sebuah penghargaan kebudayaan tertinggi yang diberikan pemerintah Singapura.